Selasa, 17 Mei 2011

Racun Hatiku

Pagi ini cuaca sedikit mendung ketika aku membuka jendela kamarku. Matahari tampak enggan dan malu untuk memperlihatkan wajahnya kepada dunia. Langit yang mendung pun seakan-akan membantu matahari untuk bersembunyi, dia bertiak pada matahari “Hai, matahari! Berlindunglah di balik tubuhku. Tenang saja! Aku akan menjagamu!” yakin langit mendung pada matahari. Tanpa banyak bicara matahari menuruti nasehat langit, dia berlindung di balik tubuh langit mendung, menyembunyikan sinarnya dari makhluk yang tinggal di bumi.
Meskipun langit mendung sukses membujuk matahari untuk tidak keluar menemui dunia, aku tetap merasa senang karena udara di pagi ini berhasil membuat hatiku tenang dan damai. Udaranya terasa begitu basah di kulitku, begitu bersih dan penuh dengan aroma kehidupan. Cepat-cepat aku menyesakki kantong paru-paruku dengan udara ini, takut jika udara yang begitu segar ini lari dan pergi meninggalkanku. Lalu kututup kedua mataku dan ku biarkan angin pagi ini menyentuh pipiku dengan manja, membelai rambutku dengan lembut dan membisikkan senandung merdu di telingaku. Diriku serasa terbang, terbang melayang ke langit ketujuh. Tubuhku terasa begitu ringan, ringan seperti kapas. Seakan-akan tidak ada beban di pikiranku, tidak ada luka di hatiku dan tidak ada kesedihan yang kurasakan. Aku menikmati setiap detik di pagi ini, berharap selamanya bisa seperti ini.
Untuk sesaat, aku bisa melupakan segala kesedihan dan masalah yang aku alami. Melupakan kejadian semalam, yang mungkin bagi sebagian orang hanya kejadian sepele yang tak perlu dipikirkan, tapi kejadian ini begitu penting, begitu berarti dan begitu menyakitkan untukku. Kejadian ini pun merupakan sumber dari segala sumber kebodohanku yang akan kuceritakan nantinya.
Kejadian itu bermula ketika aku berkumpul bersama keluargaku. Tidak seluruh anggota keluargaku berkumpul saat itu. Kakak laki-lakiku, Kak Revan sedang kuliah di Jogjakarta dan rencananya besuk pagi dia akan pulang.
“Bu, Revan besuk pulang kan?” tanya ayahku pada ibuku.
“Iya Yah, besuk dia pulang dari Jogja sekitar jam 8.00. Kenapa Yah?” jawab ibuku.
“Enggak, Ayah cuma khawatir aja dia kan baru aja ditimpa musibah, sahabat baiknya meninggal dunia, apa nggak papa kalau dia pulang naik motor dari Jogja ke Semarang?”
“Iya juga Yah, ehmm.. Ntar Ibu telpon Revan, ngasih tahu dia buat nggak naik motor tapi naik bis aja. Gimana Yah?”
“Ya, Ayah setuju, itu lebih baik.”jawab ayah.
Saat itu aku sedang membaca dan diam-diam menyimak pembicaraan kedua orang tuaku. Kemudian aku teringat bahwa besuk ada pertemuan orang tua di sekolah.
“Ibu, Ayah.. Besuk ada rapat wali murid di sekolah, jam 09.00.” kataku
“Oh ya? hmm… ” ayahku mendesah.
“Ayah atau Ibu nggak usah datang ya.. Cuma rapat kok.. Paling juga mbahas nggak penting..”kata ayahku.
“Nggak penting, Yah?”tanyaku.
“Iya, nggak penting..”jawab beliau.
“Oh..”sahutku singkat.
Aku yang termasuk tipe orang pendiam dan cukup sensitif, merasa sedikit tersinggung dengan perkataan ayahku.
Aku bertanya dalam hatiku,“Nggak penting? Apa maksud dari ucapan ayahku itu? Apakah urusanku tidak penting? Apakah hal-hal yang berkaitan denganku itu nggak penting?” Seketika itu juga, banyak pikiran negatif yang berkelebat dalam otakku.
“Mungkin memang iya. Mungkin memang tidak penting.” batinku.
“Tapi…”
Tiba-tiba, seperti ada seseorang yang membisikkan dalam hatiku.
“Jangan, janganlah kau berpikir seperti itu. Jangan berpikiran buruk terlebih dahulu. Apalagi berpikiran buruk kepada kedua orang tuamu sendiri. Mungkin mereka hanya bercanda, Mungkin mereka hanya bercanda…” kata orang itu.
“Astaghfirullah, nggak semestinya aku berpikiran buruk seperti itu. Iya, mereka hanya bercanda” yakinku dalam hati.
***
Pagi itu lamunanku terpecah ketika ibuku memasuki kamarku dan bertanya kepadaku.
“Vani, kamu dah shalat?”
“Udah bu..”
“Yaudah, kalau gitu langsung siap-siap ke sekolah sana..”
“Iya bu..”
Aku bersiap pergi ke sekolah. Tidak seperti biasa, sekolah hari ini dipulangkan lebih awal karena ada rapat wali murid. Pukul 09.00, rapat sudah dimulai.
“Mana ya orang tuaku?” tanyaku pada temanku, Dewi.
“Entar mungkin datangnya..” jawab temanku mencoba meyakinkanku.
“Mungkin..” sahutku.
Aku menunggu kedua orang tuaku untuk datang dalam rapat itu. Lama sudah aku menunggu, hingga akhirnya rapat wali murid selesai. Tetap saja orang tuaku tidak datang. Hatiku mulai dipenuhi perasaan putus asa, sedih, kecewa, dan yang paling mengerikan adalah mulai tumbuh bibit-bibit kemarahan dalam hatiku, semua perasaan negatif itu bercampur menjadi satu, membuatku merasa tidak enak badan.
“Vani, kalau aku tinggal pulang dulu ndak nggak papa? aku dah ditunggu ayahku.” tanya Dewi kepadaku.
“Oh, nggak papa kok… Pulang dulu aja.” jawabku sambil menahan semua perasaan negatif dalam hatiku.
“Beneran nih? Kamu masih mau nunggu orang tuamu?” tanya Dewi lagi.
“Iya, beneran. Ehmm, iya aku masih mau nunggu mereka, mungkin aja mereka nanti datang.” jawabku menyakinkan Dewi.
“Yaudah aku pulang dulu ya… Daa Vani!” pamit Dewi.
“Daa Dewi! Ati-ati ya.” kataku.
“Ok deh” sahut Dewi.
Aku menunggu, dan terus menunggu kedatangan kedua orang tuaku. Hingga akhirnya jam menunjukkan pukul 13.00, sekolah sudah sepi, yang ada tinggal aku dan penjaga sekolah. Perasaan negatif yang dari tadi sudah singgah di hatiku, sekarang mulai memberontak. Seolah-oleh perasaan negatif itu berusaha meluap dari hatiku, mencoba keluar dengan mengoyak, mencabik dan merobek hatiku.
Aku berkata pada diriku sendiri, “Mungkin memang benar rapat ini nggak penting. Semua yang berkaitan denganku enggak penting. Aku tak mengira ternyata pembicaraan semalam betul-betul serius. Aku kira hanya sebuah guyonan.”
“Sudah lah dari pada aku terus menunggu di sini, lebih baik aku pulang.” kataku marah.
Sesampainya di rumah, aku tidak melihat ayah ibuku, sepertinya mereka belum pulang.
“Kemana mereka?” tanyaku dalam hati
“Ah, sudahlah, terserah ayah ibu saja mau pergi kemana aja boleh, itu bukan urusanku! Lebih baik aku tidur!” kataku dalam hati.
2 jam aku tertidur, waktu tidur yang menurutku cukup lama, tiba-tiba ada suara mobil yang menderu-deru di luar, mobil itu seperti sedang kesetanan. Aku terbangun dari tidurku, dan beranjak ke jendela untuk mengintip apa yang terjadi di luar.
“Hah? Itu kan mobil ayahku, ooh ayah dan ibu sudah pulang. Tapi kok wajah mereka pucat kayak gitu? Ada apa ya? Hmm, biarlah! Kan itu bukan urusanku, mungkin wajah mereka pucat, karena mereka merasa bersalah tidak hadir dalam rapat itu. Mungkin saja, atau malah enggak menyesal sama sekali?! Biarlah!” kataku dalam hati.
Aku melanjutkan tidurku lagi. Selang beberapa saat, ada suara ketukan yang cukup keras, ternyata ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku.
“Vani” thok…! thok! thok! “Buka pintunya Van, ada yang mau ibu bicarakan.” panggil ibuku lembut.
Dengan malas, aku membukakan pintu kamarku.
“Ada apa bu?” tanyaku.
“Kamu marah ya?” tanya ibuku.
“Enggak kok bu”jawabku bohong.
“Maaf kan ibu dan ayah ya, kami enggak sempat datang ke rapat wali kelas tadi.” pinta ibu.
“Iya nggak papa bu” jawabku malas sambil menutup pintu kamarku.
Ibuku menahanku untuk tidak menutup pintu, dia berkata “Ada musibah.”
“Hmm?” kataku.
Dlam hatiku berkata, “Apa? Musibah? Musibah Apa?”
“Kakamu..Revan.. Revan kecelakaan.” kata ibuku sedih.
“Apa?!”sahutku terkejut.
“Kak Revan kecelakaan? Kok bisa? Bukannya Kak Revan pulang naik bis?’ tanyaku tak percaya.
“Revan nggak jadi naik bis, dia naik motor” jelas ibuku.
“Bagaimana ceritanya sampai kak Revan kecelakaan?” tanyaku khawatir.
“Dia ngalamun di jalan, teringat Bahtiar yang telah meninggal.”lanjut ibuku.
“Astaghfirullah,lalu gimana bu keadaannya sekarang?”
“Keadaanya sudah lebih baik daripada tadi, dia sekarang ada di kamarnya.”kata ibuku.
“Kenapa enggak di bawa ke rumah sakit?” tanyaku.
“Kata dokter dia tidak apa-apa, dia hanya menderita luka luar saja tidak ada luka dalam. Ibu harap juga seperti itu.” jawab ibuku dengan wajah hampir menangis.
Bergegas aku menuju kamar Kak Revan, betapa terkejutnya diriku ketika melihat keadaan kakakku yang begitu tak berdaya. Tubuhnya terbaring lemas di atas kasur, seperti tidak bisa digerakkan. Hidung mancungnya patah dan membengkong ke samping, hidung itu mengeluarkan darah terus menerus. Wajah tampan Kak Revan, berubah. Dagunya sobek. Penuh dengan luka jahit. Tidak hanya itu,kaki Kak Revan luka, terkoyak, hingga terlihat daging putih dan darah di dalamnya. Begitu miris aku melihat keadaan Kak Revan. Air mataku menetes begitu saja. Cepat-cepat aku hapus air mataku itu, dan berusaha untuk tidak menangis.
Kak Revan yang tahu kedatanganku di kamarnya, dia tersenyum padaku sambil melambaikan tanganya, tersenyum seperti biasanya, senyum tulus seorang kakak pada adiknya, senyum yang mengatakan “Hai, dik! Aku baik-baik saja. Tak usah khawatir.”
Melihat tingkah Kak Revan, aku semakin tidak bisa menahan tangisku ini. Hingga akhirnya tangisku itu pecah, air mataku mulai berjatuhan. Berulang kali aku berusaha menghapus air mataku dengan lengan bajuku, hingga lengan bajuku itu lusuh dan basah. Aku membalas senyum kakakku itu masih dalam keadaan menangis, aku juga membalas pesan di dalam senyumannya “Aku tau Kak, Kakak pasti baik-baik saja. Kakak kan kuat.”
“Tadi ibu dan ayah, menjemput kak Revan di puskesmas yang paling dekat dengan tempat kejadian kecelakaan. Sehingga ayah dan ibu tak sempat datang ke acara rapat wali kelas di sekolahmu. Maafkan ayah dan ibu ya?” kata ibuku yang tanpa aku sadari ternyata sudah ada di belakangku sejak tadi.
Sesaat aku terdiam mendengar permintaan maaf dari ibuku. Perasaan marah, sedih, putus asa dan kecewa dalam hatiku, semuanya hilang begitu saja, menguap dari tubuhku. Digantikan dengan perasaan bersalah dan menyesal.
“Iya bu, enggak papa.” kataku tertunduk malu menyadari kesalahan dan kebodohanku.
Mendengar permintaan maaf ibuku, tangisku semakin tak bisa aku bendung lagi. Aku memilih pergi dari kamar Kak Revan menuju kamarku, meninggalkan Kak Revan di kasurnya dan meninggalkan ibuku yang menatap sedih keadaan Kak Revan.
Aku menangis, aku tumpahkan air mataku di kamarku itu.
“Astaghfirullah.. betapa bodohnya aku. Aku sudah berpikiran buruk kepada orang tuaku sendiri. Aku kira mereka tidak peduli denganku, ternyata mereka peduli, sangat peduli. Tidak sepantasnya aku berpikiran buruk seperti tadi. Seharusnya aku lah yang minta maaf, bukan ibuku.” kataku sambil menangis.
Aku menangis dan terus menangis. Menyesali apa yang telah aku perbuat dan apa yang telah aku pikirkan. Pikiran buruk kepada orang tuaku sendiri telah meracuni otakku, menghancurkan sistem kerja tubuhku, membutakan mata hatiku dan menutup pendengaranku dari suara hati yang slalu mengingakanku. Aku menyesalinya, sangat menyesalinya.
***
Waktu telah lama berlalu, keadaan Kak Revan sudah membaik, sudah sembuh malah. Kak Revan sudah bisa beraktifitas seperti biasanya. Walaupun begitu, masih ada sisa-sisa kecelakaan di wajahnya. Masih terlihat jelas, bekas jahitan di dagu dan bekas luka patah di hidungnya. Bekas kecelakaan yang selalu mengingatkanku pada kesalahanku yang lalu. Kesalahanku karena berpikiran buruk kepada orang lain, yang akhirnya meracuni diriku sendiri. Sejak saat itu, aku berjanji pada diriku, aku tak akan mengulangi kesalahanku itu, aku tak akan berpikiran buruk terhadap orang lain lagi, apalagi berpikiran buruk kepada ke dua orang tuaku.